Perlindungan Konsumen, Anti monopoli dan Persaingan tidak Sehat, serta Penyelesaian Sengketa
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik
bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan konsumen diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK 8/1999) tentang Perlindungan Konsumen,
menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban
produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan
kewajiban itu.
2. Tujuan dan Asas Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen diatur
dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1)
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
2)
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.
3)
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4)
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
Keinginan yang hendak dicapai dalam
perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Dalam menegakkan hukum perlindungan diperlukan pemberlakuan
asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penempatan hukum.
Asas perlindungan
konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1)
Asas Manfaat
Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh
hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain
mendapatkan kerugian.
2)
Asas Keadilan
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di
akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh
kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan
produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban
secara seimbang.
3)
Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen.
Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang
seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
4)
Asas Keamanan dan Keselamatan.
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum
bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya,
dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan
keselamatan jiwa dan harta bendanya.
5)
Asas Kepastian Hukum
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar
pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak
dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu
pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.
3. Hak dan Kewjiban Konsumen
Hak-hak konsumen
diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1)
Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan atau jasa.
2)
Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3)
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi jaminan barang dan atau jasa.
4)
Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan atau jasa yang digunakan.
5)
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6)
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif.
8)
Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau
penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Kewajiban
konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1)
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2)
Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan jasa.
3)
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4)
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
4. Kegiatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8
sampai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang
dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam memproduksi / memperdagangkan,
larangan dalam menawarkan / mempromosikan / mengiklankan, larangan dalam
penjualan secara obral / lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan.
A. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
1)
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2)
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,
dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
3)
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran sebenarnya;
4)
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut ;
5)
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut ;
6)
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut
;
7)
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu ;
8)
tidak mngikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label ;
9)
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat ;
10)
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
B. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar, dan atau
seolah-olah:
1)
Barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan
harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu ;
2)
Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru ;
3)
Barang dan atau jasa tersebut telah mendapat dan atau
memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu ;
4)
Barang dan atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi ;
5)
Barang dan atau jasa tersebut tersedia ;
6)
Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi ;
7)
Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang
tertentu ;
8)
Barang tersebut berasal dari daerah tertentu ;
9)
Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan atau jasa lain ;
10)
Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang
lengkap ;
11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji
yang belum pasti.
C. Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui
cara obral atau lelang, dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain
:
1)
Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah
telah memenuhi standar mutu tertentu ;
2)
Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah
tidak mengandung cacat tersembunyi ;
3)
Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan
melainkan dengan maksud menjual barang yang lain ;
4)
Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan atau
jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain ;
5)
Tidak menyediakan barang dalam kapasitas tertentu dan
atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain ;
6)
Menaikkan harga atau tarif barang dan jasa sebelum
melakukan obral.
D. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan,
misalnya :
1)
Mengetahui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan
kegunaan, dan harga barang dan atau jasa, serta ketepatan waktu penerimaan
barang jasa ;
2)
Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang dan atau
jasa ;
3)
Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat
mengenai barang dan atau jasa ;
4)
Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang
dan atau jasa ;
5)
Mengeksploitasi kejadian dan atau seseorang tanpa seizing
yang berwenang
6)
Melanggar etika dan atau ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai periklanan.
5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab
produsen atau pelaku usaha diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Bab
IV Tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha:
Pasal 19
(1) Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan
(2) Ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti
rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi
(4) Pemberian ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan
(5) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan
bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan
oleh iklan tersebut
Pasal 21
(1) Importir barang
bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang
tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri
(2) Importir jasa
bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing
tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing
Pasal 22
Pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian
Pasal 23
Pelaku usaha yang
menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi
atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen
Pasal 24
(1) Pelaku usaha
yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku usaha
lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang
dan/atau jasa tersebut
b. pelaku usaha
lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang
dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh,
mutu, dan komposisi
(2) Pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli
barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan
atas barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 25
(1) Pelaku usaha
yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan
(2) Pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a. tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi
atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati
dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen, apabila
a. barang tersebut
terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b. cacat barang
timbul pada kemudian hari
c. cacat timbul
akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya jangka
waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
Pasal 28
Pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha.
6. Sanksi
Sanksi Bagi Pelaku
Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam
bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang
atau
·
Perawatan kesehatan, dan/atau
·
Pemberian santunan
Ganti rugi
diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi
:
Maksimal Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat
(2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
·
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua
milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan
e dan Pasal 18
·
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus
juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
1. Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
2. Asas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3. Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang
diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak
memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari
kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan
disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang
dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang
adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang
tersebut yaitu :
1)
Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2)
Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3)
Penguasaan
pasar
Di
dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4)
Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5)
Posisi
Dominan
Artinya
pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya
di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses
pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan
permintaan barang atau jasa tertentu.
6)
Jabatan
Rangkap
Dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain.
7)
Pemilikan
Saham
Berdasarkan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang
memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan
usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan
beberapa perusahaan yang sama.
8)
Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan
Dalam
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang
berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan
bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
4.
Perjanjian
yang Dilarang
1)
Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2)
Penetapan
harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama ;
b.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau
jasa yang sama ;
c.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar ;
d.
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
dijanjikan.
3)
Pembagian
wilayah
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4)
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5)
Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6)
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7)
Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8)
Integrasi
vertikal
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9)
Perjanjian
tertutup
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan
atau pada tempat tertentu.
10) Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.
Hal-hal
yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi
vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopol
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopol
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknolog
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6.
Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7.
Sanksi
dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1)
Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)
Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)
Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya
3 (tiga) bulan.
Pasal
49
(4)
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa.
a. pencabutan izin usaha; atau
a. pencabutan izin usaha; atau
b.
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa dimulai ketika satu pihak
merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb
menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa
dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi proses
adjudikasi yang terdiri dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara
informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui
negosiasi dan mediasi.
1. Negosiasi
Negosiasi
sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga
tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan
kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut. Penyelesaian sengketa
sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal, yang dibahas adalah
berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja. Dalam praktik, negosiasi dilakukan
karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak
dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual
dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga, dalam hal ini tidak
terjadi sengketa; dan (2) untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang
timbul di antara para pihak. Dengan demikian, dalam negosiasi, penyelesaian
sengketa dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah.
2. Mediasi
Pengertian
mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga
(mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah
(yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian
sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa[8].
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Peran mediator membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau
penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung.
3. Arbitrase
Berbeda
dengan bentuk ADR/APS lainnya, arbitrase memiliki karakteristik yang hampir
serupa dengan penyelesaian sengketa adjudikatif. Sengketa dalam arbitrase
diputus oleh arbiter atau majelis arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut
bersifat final and binding. Namun demikian, suatu putusan arbitrase baru dapat
dilaksanakan apabila putusan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri
(lihat Pasal 59 ayat (1) dan (4) UU No.30/1999). Dalam hal para pihak sepakat
untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui pengadilan.
4. Legalitasi
Umumnya,
pelaksanaan gugatan disebut letigasi. Gugatan adalah suatu tindakan sipil yang
dibawa di pengadilan hukum di mana penggugat, pihak yang mengklaim telah
mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan terdakwa, menuntut upaya hukum
atau adil. Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika
penggugat berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan
berbagai perintah pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak,
kerusakan penghargaan, atau memberlakukan perintah sementara atau permanen
untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang yang memiliki kecenderungan untuk
litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang disebut sadar hukum.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar