Perekonomian Indonesia
MAKALAH
PEREKONOMIAN
INDONESIA
“KEMISKINAN
DAN KESENJANGAN”
Disusun
oleh:
Elya Nopani
21217931
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Gunadarma
Depok
2018
Kata pengantar
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat, sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang mungkin
sangat sederhana.
Makalah ini berisikan
tentang pengertian kemiskinan, pengertian kesenjangan, konsep kemiskinan, dan
hubungan antara kemiskinan dan kesenjangan. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman dan juga berguna
untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saya harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, Maret 2018
Elya Nopani
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
1.2. Perumusan
Masalah
1.3. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep
dan Pengertian Kemiskinan
2.2 Garis
Kemiskinan
2.3 Penyebab
dan Dampak Kemiskinan
2.4 Pertumbuhan,
Kesenjangan, dan Kemiskinan
2.5 Indikator
Kesenjangan dan Kemiskinan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Kemiskinan
dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di Indonesia, sehingga
menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan ini
sangatlah kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek
sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan terus menjadi masalah
fenomenal di belahan dunia, khususnya Indonesia yang merupakan Negara
berkembang. Kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak bisa mendapat
pendidikan, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan investasi,
dan masalah lain yang menjurus ke arah tindakan kekerasan dan kejahatan.
Kemiskinan
yang terjadi dalam suatu negara memang perlu dilihat sebagai suatu masalah yang
sangat serius, karena saat ini kemiskinan, membuat banyak masyarakat Indonesia
mengalami kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Persoalan kemiskinan ini
lebih dipicu karena masih banyaknya masyarakat yang mengalami pengangguran.
Pengangguran yang dialami sebagian masyarakat inilah yang membuat sulitnya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga angka kemiskinan selalu ada.
Kemiskinan
merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Hal itu diperkuat
oleh Angka Statistik yang memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk
miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang dikategorikan supermiskin oleh
World Bank pada tahun 2007, yang mencapai 39 juta jiwa atau 17,75 persen dari
total populasi. Dari hasil survei yang telah ada, maka pemerintah melakukan
kebijakan serius yang memihak kepada masyarakat miskin. Namun kebijakan yang
dibuat selama ini sering kali kurang memihak kepada masyarakat miskin, sehingga
semakin memperburuk kondisi masyarakat.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
arti kemiskinan dan kesenjangan?
2. Apa
penyebab kemiskinan?
3. Bagaimana
kemiskinan betumbuh?
4. Apa
hubungan kemiskinan dan kesenjangan?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memahami konsep kesenjangan
2. Untuk
memahami cara mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan
3. Untuk
mewujudkan negara yang bebas dari kemiskinan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep
dan Pengertian Kemiskinan
Konsep kemiskinan antara negara maju
dan negara berkembang tentulah berbeda. Mungkin di negara maju, keluarga yang
tidak memiliki alat elektronik terbaru, tidak membayar asuransi, dan tidak
memiliki akses internet dapat dikatakan miskin. Sedangkan di negara berkembang,
kemiskinan justru ditandai dengan kelaparan, kekurangan gizi, tidak mendapat
pendidikan, dan tidak memiliki tempat tinggal. Kedua hal tersebut menjelaskan
bahwa semakin maju suatu negara maka kebutuhan dasarnya semakin kompleks dengan
standar kualitas yag semakin tinggi pula.
Kemiskinan secara etimologis berasal
dari kata “miskin” ayang artinya tidak berharta benda dan serba kekurangan.
Orang dikatakan miskin apabila memiliki sumber daya ekonomi dibawah target atau
patokan yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan kemiskinan sosial adalaah
kurangnya jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung seseorang untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitasnya meningkat.
Definisi
kemiskinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:
1)
Kemiskinan menurut standar kebutuhan
hidup layak. Kelompok ini berpendapat bahwa kemiskinan terjadi ketika tidak
terpenuhinya kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar. Artinya, seseorang termasuk
dalam kategori miskin apabila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sesuai
dengan standar hidup yang layak. Kemiskinan seperti ini disebut dengan kemiskinan
absolut.
2)
Kemiskinan menurut tingkat pendapatan.
Pandangan ini berpendapat bahwa kemiskinan terjadi disebabkan oleh kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Inti dari kedua
sudut pandang itu sama, yaitu ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok atau
hidup layak, itulah yang disebut kemiskinan.
Studi sosiologis tentang kemiskinan
diawali oleh Charles Both dan B.Seebohm Rowntree (Townsend, 1954), mereka
mengatakan bahwa keluarga yang hidup dalam kemiskinan dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1)
Keluarga yang berpendapatan tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan minimum. Kemiskinan seperti ini disebut dengan
kemiskinan primer.
2)
Keluarga yang berpendapatan secara
keseluruhan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik semata. Kemiskinan seperti
ini disebut dengan kemiskinan sekunder.
Secara umum teori-teori yang
menjelaskan mengapa kemiskinan terjadi, dapat dibedakan menjadi teori berbasis
pendekatan sosio-antropologi (nonekonomi), khususnya tentang budaya masyarakat.
Teori yang berbasis pada teori ekonomi antara lain melihat kemiskinan sebagai
akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan,
kebijakan yang menyimpang, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta
rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya rangsangan untuk
penanaman modal. Disisi lain, pendekatan sosio-antropologis menekankan adanya
pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural),
seperti budaya menerima apa adanya. Sangat yakin bahwa apa yang terjadi adalah
takdir dan tidak perlu disesali bahkan barusaha sekuat tenaga untuk
mengubahnya.
2.2
Garis
Kemiskinan
Garis kemiskinan adalah tingkat
pendapatan atau pengeluaran yang ditetapkan, sebagai alat pengukur seseorang
yang dikatakan miskin apabila pendapatannya berada dibawah tingkatan tersebut.
Garis kemiskinan berguna untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti
jumlah dan presentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan, dan indeks
keparahan kemiskinan. Oleh karena itu, garis kemiskinan sangat berpengaruh
terhadap besar kecilnya angka kemiskinan.
Berbagai hal akan memengaruhi garis
kemiskinan seperti, konsep kebutuhan dasar, konsep kesejahteraan, letak
geografis, dan tingkat harga. Harga barang dan jasa tidaklah sama untuk setiap
daerah. Bahkan harga barang dan jasa yang jenisnya sama dan dengan ukuran yang
sama pula, akan berbeda antara desa dan kota. Karena perbedaan preferensi
tingkat harga tersebut, maka besarnya garis kemiskinan antar negara dan antar
daerah juga dapat berbeda. Demiikian halnya dalam satu daerah atau negara dalam
kurun waktu yang berbeda.
Menurut Badan Pusat statistik,
konsep dan definisi miskin di Indonesia tidak pernah berubah yaitu pemenuhan
kebutuhan dasar yang ukurannya selalu tetap. Yang membuat garis kemiskinan itu berubah
adalah karena adanya penyesuaian harga akibat inflasi. Berbeda dengan beberapa
negara seperti Uni Eropa, masyarakat miskin diartikan sebagai masayarakat
memiliki pendapatan per kapita dibawah 50 persen dari angka rata-rata. Saat
negara atau masyarakat semakin kaya, maka garis kemiskinan juga akan cenderung
meningkat, atau apabila pendapatan rata-rata naik, maka garis kemiskinan juga
akan naik. Konsep garis kemiskinan yang diterapkan di Indonesia dinamakan garis
kemiskinan absolut, sedangkan yang diterapkan di Uni Eropa adalah garis
kemiskinan relatif.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan
absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan kemiskinan
menengah untuk pendapatan dibawah $2/hari. Dengan batasan ini diperkirakan pada
2001 1,1 Miliyar orang didunia mengonsumsi kurang dari USD $1/hari dan 2,7
Miliyar orang di dunia mengonsumsi kurang dari USD $2/hari. Demikian juga di
Indonesia, pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin berdasarkan kriteria Bank
Dunia sebanyak 48,5 juta jiwa (20,4%), namun dengan standar Indonesia hanya
33,7 juta jiwa (14,2%). Ini berarti standar yang diterapkan Bank Dunia lebih
tinggi dari garis kemisikinan yang ditetapkan oleh Indonesia.
Standar pengukuran Garis Kemiskinan
yang ditetapkan oleh Bank Dunia bertujuan untuk evaluasi terhadap kebijakan
yang telah dilaksanakan serta sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan baru
untuk mengatasi masalah kemiskinan disamping sebagai dasar kebijakan politik
dan ekonomi.
Garis kemiskinan relatif dikaitkan
dengan distribusi pendapatan atau konsumsi dalam suatu wilayah atau suatu
negara secara keseluruhan. Misalnya garis kemiskinan ditetapkan sebesae 30
persen dari rata-rata pendapatan atau konsumsi suatu negara. Sebagai contoh
suatu negara memmiliki pendapatan per kapita sebesar Rp.30 juta per tahun, maka
seluruh penduduk yang berpendapatan kurang dari 30 persen dari Rp 30 juta
termasuk dalam kategori miskin. Garis kemiskinan ini bergeser seiring
berubahnya rata-rata pendapatan masyarakat.
Salah satu pendekatan ukuran kemiskinan
adalah pendekatan kebutuhan dasar (Basic
Needs Approach). Konsep ini didasarkan pada kebutuhan manusia akan
sekumpulan barang konsumsi dan nonkonsumsi. Konsep ini dianut oleh Badan Pusat Statistik dalam menentukan
garis kemiskinan di Indonesia. Garis kemiskinan makan minum yang disetarakan
dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari.Sedangkan garis kemiskinan non
makanan merupakan kebutuhan minum, rumah, pendidikan, dan kesehatan. Dengan
demikian garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan
dan garis kemiskinan nonmakanan, atau secara matematis dituliskan: GK=GKM+GKNM. Data GKM dan GKNM diperoleh
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) terhadap beberapa sempel yang
dilakukan Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik
mengklasifikasikan empat kelompok masyarakat berdasaran garis kemiskinan, yaitu
kelompok masyarakat miskin, hampir miskin, hampir tidak miskin, dan tidak
miskin. Seorang yang berada dibawah garis kemiskinan
disebut miskin.
Bila seseorang berada hanya sedikit diatas garis kemiskinan termasuk pada
kategori hampir miskin. Seseorang yang pengeluarannya antara 1,2 hingga 1,5
kali garis kemiskinan dikelompokkan pada kategori hampir tidak miskin.
Sedangkan seseorang yang tidak miskin adalah penduduk yang memiliki tingkat
pengeluaran rata-rata per bulan diatas 1,5 kali garis kemiskinan.
2.3
Penyebab
dan Dampak Kemiskinan
Pada umumnya penyebab kemiskinan
adalah sebagai berikut:
a)
Laju pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan
penduduk Indonesia menurut hasil sensus penduduk terus meningkat disetiap 10
tahun, hal tersebut menyebabkan Indonesia semakin terpurukk dengan keadaan
ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan
jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah banyaknya beban
yang harus ditanggung membuat penduduk berada di bawah garis kemiskinan.
b)
Angkatan Kerja dan Penduduk yang Bekerja
Penduduk suatu
negara dibagi menjadi tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong
sebagai tenaga kerja adalah penduduk dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja
berbeda-beda disetiap negara. Batas usia kerja atau dapat dikatakan sebagai
usia produktif yang dianut Indonesia ialah minimum 15 dan maksimum 64 tahun.
Masyarakat yang belum mendapatkan pekerjaan ketika telah mencapai usia produktif
adalah salah satu penyebab kemiskinan (Tidak termasuk pelajar dan ibu rumah
tangga).
c)
Tingkat pendidikan yang rendah
Rendahnya
tingkat pengetahuan dan keahlian masyarakat merupakan penyebab kemiskinan suatu
negara. Karena untuk dapat bekerja, perusahaan memiliki standar khusus untuk
setiap bidang, maka karyawan harus memiliki kemampuan sesuai dengan yang
dibutuhkan.
d)
Kurangnya Perhatian Pemerintah
Pemerintah
kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin. Kebijakan yang dibuat
pemerintah tidak mampu menekan angka kemiskinan yang terjadi.
e)
Distribusi yang Tidak Merata
Secara makro,
kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
menimbulkan timpangnya distribusi pendapatan, penduduk miskin hanya memiliki
sumber daya yang terbatas dan kualitasnya rendah.
Menurut Spicker (2002)
penyebab kemiskinan dapat dibagi menjadi empat mazhab, yaitu:
a)
Individual
Explanation, yaitu kemiskinan yang cenderung
diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri. Misalnya seperti malas
bekerja, kurang disiplin, dan kurang bersungguh-sungguh dalam bekerja
b)
Familial
Explanation, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh
keturunan. Artinya, tingkat pendidikan orangtua yang rendah akan berpengaruh
pada pendidikan anaknya dan pada akhirnya anak tersebut jatuh dalam kemiskinan.
Demikian secara terus-menerus dan turun-menurun.
c)
Subcultural
Explanation, yaitu kemiskinan disebabkan oleh kultur
atau budaya, adat-istiadat, atau akibat pengaruh lingkungan. Misalnya kebiasaan
untuk enggan bekerja keras, menerima apa adanya, dan menganggap semua adalah
takdir yang tidak dapat diubah. Terkadany orang yang seperti ini justru tidak
merasakan miskin karena sudah terbiasa dengan budaya yang demikian.
d)
Structural
Explanation, yaitu kemiskinan yang timbul akibat
dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat-istiadat,
kebijakan dan aturan lain menimbulkan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya
hingga menimbulkan kemiskinan diantara mereka yang statusnya rendah dan haknya
terbatas.
Isdjoyo (2010)
membedakan penyebab kemiskinan di desan dan di kota. Kemiskinan di desa
terutama disebabkan oleh faktor-faktor berikut
a)
Ketidakberdayaan. Kondisi ini muncul
ketika kurangnya lapangan kerja,
rendahnya harga produk yang dihasilkan, dan tingginya biaya pendidikan.
b)
Keterkucilan, rendahnya tingkat
pendidikan, kurangnya keahlian, sulitnya transportasi, serta ketidakadaan akses
terhadap kredit menyebabkan mereka terkucil dan menjadi miskin.
c)
Kemiskinan materi, kondisi ini
diakibatnya kurangnya modal untuk mengembangkan usahanya.
d)
Kerentanan, sulitnya mendapat pekerjaan,
pekerjaan musiman, dan bencana alam, membuat penduduk desa menjadi semakin
rentan dan miskin.
e)
Sikap, sikap meneima apa adanya dan
tidak termotivasi untuk bekerja keras membuat mereka menjadi miskin.
Kemiskinan di kota pada
dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan di desa, yng berbeda
adalah penyebab faktor-faktor tersebut, misalnya faktor ketidakberdayaan
disebabkan faktor kurangnya lapangan kerja dan tingginya biaya hidup.
Dampak yang terasa
apabila kemiskinan terjadi disuatu negara adalah sebagai berikut:
a)
Pengangguran, masyarakat sulit mencari
pekerjaan serta sulit berkembang. Karena tidak memiliki pendapatan maka sulit
untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti makanan, kesehatan, dan pendidikan.
b)
Kriminalitas, kesulitan mencari nafkah
menyebabkan seseorang mencari jalan pintas untuk mendapatkan penghasilan tanpa
peduli cara yang digunakannya benar atau salah. Misalnya perampokan, pencurian,
penodongan, dan masih banyak lagi tndakan-tindakan kriminalitas yang terjadi
untuk memenuhi kebutuhan hidup pelaku kriminalitas.
c)
Putus sekolah, mahalnya biaya pendidikan
menyebabkan seseorang tidak mampu untuk membayar. Tidak sekolah berarti tidak
lagi mendapatkan ilmu yang berguna untuk masa depan.
d)
Kesehatan sulit didapatkan karena
kurangnya pemenuhan gizi sehari-hari. Masyarakat yang miskin tidak mampu
memenuhi kebutuhan 4 sehat 5 sempurna sehingga penyakit dapat dengan mudah
menyerang. Dan harus berpikir dua kali untuk mendapatkan pengobatan dengan
harga yang tidak murah dan tidak sebanding dengan pendapatan.
e)
Buruknya generasi penerus, jika
anak-anak putus sekolah dan dipaksa untuk bekerja maka mereka akan memiliki
gagguan pada perkembangan mental yang panjang dan berlanjut hingga mereka
dewassa. Hal tersebut menyebabkan ketika mereka berada dalam usia produktif,
mereka akan mengalami kesulitan dalam menghadapi dunia pekerjaan yang sesungguhnya
dengan ilmu yang minim.
2.4
Pertumbuhan,
Kesenjangan, dan Kemiskinan
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada
korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi.
Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan si
kaya dengan si miskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh
Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an
ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal
1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia,
Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan, semakin
besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran
demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan
pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan
semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznetsè ada korelasi
positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan
tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemukan bahwa relasi kesenjangan
pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.
Hasil ini menginterpretasikan:
Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke
ekonomi perkotaan (ekonomi industri). Pada awal proses pembangunan, ketimpangan
distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi
dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di
kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau
penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak
studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
·
Sebagian besar
mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
·
Hubungan positif
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan
ada di DC’s
·
Kurva bagian
kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjang menurun sebelah
kanan.
·
Deininger dan Squire
(1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45
LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif
antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
·
Anand dan Kanbur
(1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976). Keduanya menolak hipotesis
Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan
antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survei berbeda.
2.5
Indikator
Kesenjangan dan Kemiskinan
Indikator
Kesenjangan:
Ada sejumlah cara untuk mengukur
tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua
kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering
digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga
alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien
gini.
Yang paling sering dipakai adalah
koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila
0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan)
dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan koefisien
gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni
mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut,
semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Indikator
Kemiskinan:
Batas garis kemiskinan yang
digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya
perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita
sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994).
Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari.
Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran
untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2
macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (Basic Needs Approach) dan
pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang
sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index
merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin
adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis
kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non
makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis
kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food
line).
1.
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3
indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam
banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari
populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita
dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of
property yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur
dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap
index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang
miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masalah
kemiskinan di Indonesia memang sangat rumit untuk dipecahkan. Dan tidak hanya
di Indonesia saja sebenarnya yang mengalami jerat kemiskinan, tetapi banyak
negara di dunia yang mengalami permasalahan ini.
Upaya
penurunan tingkat kemiskinan sangat bergantung pada pelaksanaan dan pencapaian
pembangunan diberbagai bidang. Oleh karena itu, agar pengurangan angka
kemiskinan dapat tercapai, dibutuhkan sinergi dan koordinasi program-program
pembangunan di berbagai sektor, terutama program yang menyumbang langsung
penurunan kemiskinan.
Negara yang ingin membangun
perekonomiannya harus mampu meningkatkan standar hidup penduduk negaranya, yang
diukur dengan kenaikan penghasilan riil per kapita. Indonesia sebagai negara
berkembang memenuhi aspek standar kemiskinan diantaranya merupakan produsen
barang primer, memiliki masalah tekanan penduduk, kurang optimalnya sumber daya
alam yang diolah, produktivitas penduduk yang rendah karena
keterbelakangan pendidikan, kurangnya modal pembangunan, dan orientasi ekspor
barang primer karena ketidakmampuan dalam mengolah barang-barang tersebut
menjadi lebih berguna.
Saran
Sebagai warga negara yang baik,
seharusnya kita memberikan kontribusi aktif untuk menuntaskan kemiskinan di
negara kita. Negara ini memerlukan
usaha-usaha yang lebih kreatif, inovatif dan eksploratif dari
masyarakat. Sehingga, kita harus bergotong-royong agar
pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai.
Daftar Pustaka
Maipita, Indra. 2014. Mengukur Kemiskinan dan
Distribusi Pendapatan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Komentar
Posting Komentar